Desa Jagalan berada di bekas kota tua bernama Kotagede. Kotagede
adalah ibukota Kerajaan Mataram sebelum kemudian menjadi 2 (dua) buah
negara bernama Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta. Ketika
terjadi pemecahan negara (Palihan Nagari, sebagai area leluhur, Kotagede
pun dibelah menjadi dua, sebagian menjadi milik Surakarta dan sebagian
yang lain menjadi milik Ngayogyakarta (Yogyakarta). Hal seperti ini kuga
terjadi untuk Makam Imogiri tempat bersemayamnya Sultan Agung, raja
Mataram kedua sebelum terpecah, yang kemudian memiliki area Surakarta
dan Yogyakarta.
Ketika pemerintahan Republik Indonesia mulai efektif, bagian Kotagede
yang menjadi milik Surakarta bernama Kotagede Surakarta, atau sering
disebutkan oleh orang setempat dengan Kotagede SKA. Tiga huruf belakang
adalah singkatan yang digunakan pemerintah untuk Surakarta. Sedangkan
bagian Kotagede yang menjadi milik Yogyakarta ditambah beberapa area
disekitarnya dijadikan sebuah kecamatan yang diberi nama Kecamatan
Kotagede. Pada saat bernama Kotagede SKA secara administrasi
pemerintahan, wilayah tersebut menjadi urusan Karisidenan Surakarta.
Penduduk setempat berstatus sebagai warga Surakarta.
Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 31 Juli 1950 No.
C.31/1/5 dan tanggal 1 Juni 1953 No. Pem. 66/29/41, Kotagede Surakarta
tidak lagi menjadi bagian dari administrasi Surakarta. Kotagede
Surakarta dijadikan Desa (Kelurahan) bernama Jagalan. Nama Jagalan
berasal dari sebuah kampung yang ada di wilayah itu. Desa Jagalan yang
baru ini kemudian dimasukkan ke wilayah Kecamatan Banguntapan Kabupaten
Bantul.
Sebagai kota tua (dengan ciri-ciri fisik sebagai daerah perkotaan),
Kotagede berpenduduk cukup padat dan mempunyai sejarah kehidupan sosial
yang solid dari waktu ke waktu hingga sekarang. Sehingga, ketika bekas
kota tua itu sekarang terbelah masuk ke dua daerah, yaitu Kabupaten
Bantul dan Kota Yogyakarta, penduduknya masih hidup bersama dalam satu
kesatuan sosial yang tak terpisahkan dengan kultur-kultur dan adat
istiadat yang tak ada bedanya. Di antara penduduk saling memiliki
hubungan famili, profesi, dagang dan kegiatan sosial yang tak terpisah.
Kondisi ini tidak saja bisa dikatakan unik, namun juga menghadapi
permasalahan ketika masyarakat yang ada di satu kesatuan sosial dan
sejarah namun harus menghadapi dua pihak pemerintah sebagai stake-holder
utama pembangunan. Padahal masing-masing pihak tidak pernah mempunyai
program yang sinergis untuk menggarap wilayah ini, dan tidak punya skala
prioritas yang sama terhadap wilayah ini, bahkan mungkin punya sudut
pandang atau persepsi yang berbeda terhadap wilayah ini. Perkiraan ini
lebih kuat apabila kita melihat bahwa pemerintah yang satu berbentuk
Kabupaten dan yang lain berformat Kota. Jelas dua jenis pemerintahan
yang berbeda dalam membuat kebijakan strategi pembangunannya.
Sumber : http://hikarikagayaku.dhmart.info